Senin, 17 Oktober 2011

GARA – GARA BURUNG PERKUTUT

Seorang Ayah pada Minggu pagi sedang menikmati hobinya yaitu mengurus burung perkutut. “Tur ku tut ku tut ku tut, tur ku tut ku tut ku tut,” demikianlah burung tersebut bersiul menghibur tuannya, membuat senang seorang laki – laki yang baru bangun dan masih mengenakan sarung dan kaus oblong.

Tiba-tiba telepon berbunyi dan anak laki – lakinya yang masih berumur 8 tahun pun mengangkatnya, “Halo ini ciapa?” kata anaknya. “Oh, kamu anaknya Pak Indra, ya?” tanya si penelepon. “iya, Om. Om mau cari papa ya?” lalu suara di seberang telepon menjawab, “Iya, bilang sama papa, bosnya dari kantor panggil, ya!” “Baik, Om,” jawab anak tersebut. Kemudian gagang telepon diletakkan terbuka dan anak tersebut ke halaman belakang rumah menjumpai ayahnya.

Saat itu ayahnya sedang asyik dengan burung perkututnya. “Tur ku tut ku tut ku tut!” Anaknya berteriak, “Papa, ada telepn dari om om cari Papa!” Lalu ayahnya dengan enteng menjawab, “Ha! Menggangu keasyikan orang saja, bilang saja Papa tidak ada, sana!” Kemudian sang anak berlari lagi ke ruang tamu dan mengagkat telepon kembali. “Halo Om, Papa saya bilang Papa nggak ada di rumah.” Sang bos dengan gusar bertanya,”Ha, apa?!” Papamu bilang dia tidkaada di rumah?” “Iya Om, tadi Papa pesan bilang Papa tidak ada di rumah.” Sang bos pun naik pitam dan berpesan kepada anaknya. “Bilang sama Papamu kalau dia pembohong! Ini bos dari kantornya, Pak Hendra, bilang ya!”

Setelah meletakkan gagang telepon di tempatnya, secepat kilat sang anak berlari ke belakang memberitahukan ayahnya. “Papa! Papa! Om yang di telepon bilang Papa pembohong. Itu Om Hendra,bosnya Papa dari kantor.” Mendengar itu sang ayah sangat terkejut dan baru menyadari kesalahannya, kemudian bertanya kepadasang anak. “Apa saja yang kamu katakan kepada Om Hendra tadi?” “Aku bilang Papa bilang Papa nggak ada di rumah.” Sang ayah menepuk keningnya. “Aduh, mati aku! Jadi kamu bilang Papa yang bilang Papa nggak di rumah?” Sang anak menjawab dengan polos, “Iya, kan Papa yang suruh bilang Papa nggak ada!” “Aduh, mati aku! Mati aku!” Sang ayah berjalan mondar-mandir dalam kegelisahan karena telah ketahuan berbohong oleh bosnya.

Ia kebingungan, bagaimana ia akan menghadapi bosnya esok hari. Tiba – tiba burjng perkututnya berbunyi lagi. “Tur ku tut ku tut, tur ku tut ku tut!” Kali ini suara burung perkutut tidak terdengar merdu lagi di telinganya, bahkan ia menendang sangkar burung perkutut itu sambil berteriak, “Diaaaaaaaaaaaammmm!”




Setelah membaca cerita di atas, mungkin sebagian dari kita akan tergelitik oleh tingkah laku si anak dan juga keteledoran si Ayah. Namun, tanpa disadari cerita di atas merupakan cuplikan kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita terlalu enjoy melakukan sesuatu dan tidak ingin diganggu, terkadang kita meminta orang lain untuk berbohong demi kepentingan kita sendiri. Egois memang, tapi itulah kenyataanya. Berdasarkan cerita di atas, secara tidak langsung si Ayah telah mengajarkan anaknya untuk berbohong tanpa berpikir bahwa perbuatannya itu akan berpengaruh terhadap perkembangan psikis si anak. Padahal dalam kenyataannya yang diharapkan seorang anak dari orang tua mereka adalah keteladanan dan contoh – contoh real yang baik untuk ditiru karena mereka masih sangat kesulitan menemukan jati diri yang sesuai bagi mereka untuk menjalani kehidupan ini.

Beberapa hal yang bisa kita petik dari cerita di atas ialah, sekecil atau sebesar apapun kebohongan yang Anda buat akan terungkap seiring berjalannya waktu. Ketika Anda memulai dengan sebuah kebohongan, Anda tak akan pernah bisa berhenti karena Anda membutuhkan kebohongan – kebohongan lain untuk menutupi kebohongan Anda. Dan hal yang tak kalah penting lainnya adalah, jujur merupakan pilihan terbaik dalam kehidupan karena kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia.

Sumber cerita: “Maaf, Bhante Sekedar Numpang Lewat; Belajar Menjadi Bijaksana” karangan Biku Vijaya Putta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar