Senin, 17 Oktober 2011

Akibat Tidak Tahu Berterima Kasih

Tersebutlah dua orang sahabat pencari kayu sedang mencari kayu di hutan. Di kedalaman hutan itu bersemayam seorang penjahat sakti dan sepasang harimau ganas yang suka memangsa manusia.

Biasanya dua orang yang bersahabat ini mencari kayu hanya sampai batas aman hutan. Pada hari itu tidak banyak ranting kering yang berjatuhan sehingga tanpa sadar mereka sudah jauh masuk ke dalam hutan. Mereka melewati batas aman hutan dan memasuki daerah larangan. Daerah larangan ini terkenal angker karena dijadikan sarang bagi penjahat dan binatang buas termasuk penjahat sakti dan sepasang harimau ganas tersebut.

Tanpa mereka sadari, sepasang bola mata sedang mengintai mereka. Ketika mereka sudah berada dalam jangkuan, harimau pun mengaum dan berusaha menerkam. Bersamaan dengan itu, panah beracun seseorang juga sedang melesat dan melayang menghinggapi leher harimau. Harimau jatuh tepat di hadapan dua orang pencari kayu ini. Kemudian berkelebatlah seseorang melompat turun dari sebuah pohon besar dengan tampang yang sangar.

Salah satu pencari kayu yang baik hati dan tahu berterima kasih langsung bersujud dan menghaturkan terima kasih, tetapi temannya malah cepat – cepat menariknya dan mengajaknya pergi. Ia mengajak temannya berlari dengan kencang sambil berteriak – teriak, “Penjahat ... ada penjahat! Penjahat, kelak engkau pasti terbunuh oleh pasukan kerajaan. Penjahat! Ada penjahat!”

Setelah merasa aman, mereka pun berjalan perlahan –lahan. Sang teman yang tahu berterima kasih ini berkata kepada temanya, “Seharusnya kita tidak boleh berbuat demikian kepadanya. Dia telah menyelamatkan nyawa kita.” Lalu teman yang satunya menimpali, “Sekali penjahat tetap penjahat, tidak usah berterima kasih kepadanya. Toh dia adalah orang jahat, buktinya dia adalah buronan kerajaan.”

Teman yang baik hati kembali menjawab, “Kawan, bukankah kita tidak tahu persoalannya? Mungkin saja beliau adalah pejuang yang berbeda pandangan dengan Raja sehingga Raja tidak senang dan menjadikannya buronan. Yang kita tahu, hari ini dia adalah pahlawan yang menyelamatkan nyawa kita. Itulah yang harus kita nilai, bukan anggapan umum. Kenapa kamu tidak mau mengucapkan terima kasih?” lalu sang teman menimpali lagi, “Ah sudahlah! Engkau terlalu bodoh dan baik hati, mudah tertipu oleh kebaikan orang lain. Hari ini kita benar – benar sial sehingga kayu yang kita kumpulkan dengan susah payah pun terpaksa kita tinggalkan. Besok kita harus mengambilnya kembali.”

Keesokan harinya mereka berjalan masuk ke hutan larangan itu kembali dengan maksud mau mengambil kembali kayu yang sudah mereka jatuhkan kemarin. Sepasang bola mata mengintai kedua manusia ini, pada saat mereka sedikit terpisah, teman yang tidak tahu berterima kasih ini menjadi mangsa harimau yang ingin membalas kematian pasangannya.

Sang perkasa di atas pohon hanya menyaksikan dan tidak ingin turut campur tangan lagi. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat si anak manusia yang tak tak tahu berterima kasih ini meregang nyawa dan diseret ke semak – semak oleh si raja hutan.

Sumber cerita: Buku “Maaf, Bhante Sekedar Numpang Lewat; Belajar Menjadi Bijaksana” karya Biku Vijaya Putta

Bercermin dari kisah di atas, terkadang kita sebagai manusia menganggap sepele atau bahkan melupakan ucapan terima kasih kepada orang lain yang memang berhak mendapatkannya. Ucapan terima kasih tidak hanya ditujukan sebagai “ungkapan balas budi” melainkan untuk menunjukkan respect yang kita miliki sebagai manusia ketika mendapatkan bantuan dari orang lain.

Ucapan terima kasih juga merupakan ucapan termanis bagi seseorang yang telah membantu kita. Bukan karena mereka pamrih tapi ucapan tersebut berguna untuk meyakinkan mereka bahwa tindakan mereka memang benar. Apa yang mereka telah lakukan adalah memang sesuatu yang kita butuhkan. Jadi, jika selama ini Anda sering lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada guru, rekan kerja, adik, kakak, atau bahkan orang tua Anda, sekarang adalah saat yang tepat untuk mulai membiasakan hal tersebut. Selagi Anda masih bisa berkata, dan selagi mereka masih ada. “Terima Kasih” mempunyai arti tersendiri bagi mereka yang memang berhak mendapatkannya.

Untuk itu, saya sebagai penulis juga mengucapkan TERIMA KASIH kepada siapa saja yang telah bersedia meluangkan waktunya membaca tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat mengingatkan kita semua akan arti pentingnya berterima kasih.

_aina_
c=*

GARA – GARA BURUNG PERKUTUT

Seorang Ayah pada Minggu pagi sedang menikmati hobinya yaitu mengurus burung perkutut. “Tur ku tut ku tut ku tut, tur ku tut ku tut ku tut,” demikianlah burung tersebut bersiul menghibur tuannya, membuat senang seorang laki – laki yang baru bangun dan masih mengenakan sarung dan kaus oblong.

Tiba-tiba telepon berbunyi dan anak laki – lakinya yang masih berumur 8 tahun pun mengangkatnya, “Halo ini ciapa?” kata anaknya. “Oh, kamu anaknya Pak Indra, ya?” tanya si penelepon. “iya, Om. Om mau cari papa ya?” lalu suara di seberang telepon menjawab, “Iya, bilang sama papa, bosnya dari kantor panggil, ya!” “Baik, Om,” jawab anak tersebut. Kemudian gagang telepon diletakkan terbuka dan anak tersebut ke halaman belakang rumah menjumpai ayahnya.

Saat itu ayahnya sedang asyik dengan burung perkututnya. “Tur ku tut ku tut ku tut!” Anaknya berteriak, “Papa, ada telepn dari om om cari Papa!” Lalu ayahnya dengan enteng menjawab, “Ha! Menggangu keasyikan orang saja, bilang saja Papa tidak ada, sana!” Kemudian sang anak berlari lagi ke ruang tamu dan mengagkat telepon kembali. “Halo Om, Papa saya bilang Papa nggak ada di rumah.” Sang bos dengan gusar bertanya,”Ha, apa?!” Papamu bilang dia tidkaada di rumah?” “Iya Om, tadi Papa pesan bilang Papa tidak ada di rumah.” Sang bos pun naik pitam dan berpesan kepada anaknya. “Bilang sama Papamu kalau dia pembohong! Ini bos dari kantornya, Pak Hendra, bilang ya!”

Setelah meletakkan gagang telepon di tempatnya, secepat kilat sang anak berlari ke belakang memberitahukan ayahnya. “Papa! Papa! Om yang di telepon bilang Papa pembohong. Itu Om Hendra,bosnya Papa dari kantor.” Mendengar itu sang ayah sangat terkejut dan baru menyadari kesalahannya, kemudian bertanya kepadasang anak. “Apa saja yang kamu katakan kepada Om Hendra tadi?” “Aku bilang Papa bilang Papa nggak ada di rumah.” Sang ayah menepuk keningnya. “Aduh, mati aku! Jadi kamu bilang Papa yang bilang Papa nggak di rumah?” Sang anak menjawab dengan polos, “Iya, kan Papa yang suruh bilang Papa nggak ada!” “Aduh, mati aku! Mati aku!” Sang ayah berjalan mondar-mandir dalam kegelisahan karena telah ketahuan berbohong oleh bosnya.

Ia kebingungan, bagaimana ia akan menghadapi bosnya esok hari. Tiba – tiba burjng perkututnya berbunyi lagi. “Tur ku tut ku tut, tur ku tut ku tut!” Kali ini suara burung perkutut tidak terdengar merdu lagi di telinganya, bahkan ia menendang sangkar burung perkutut itu sambil berteriak, “Diaaaaaaaaaaaammmm!”




Setelah membaca cerita di atas, mungkin sebagian dari kita akan tergelitik oleh tingkah laku si anak dan juga keteledoran si Ayah. Namun, tanpa disadari cerita di atas merupakan cuplikan kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita terlalu enjoy melakukan sesuatu dan tidak ingin diganggu, terkadang kita meminta orang lain untuk berbohong demi kepentingan kita sendiri. Egois memang, tapi itulah kenyataanya. Berdasarkan cerita di atas, secara tidak langsung si Ayah telah mengajarkan anaknya untuk berbohong tanpa berpikir bahwa perbuatannya itu akan berpengaruh terhadap perkembangan psikis si anak. Padahal dalam kenyataannya yang diharapkan seorang anak dari orang tua mereka adalah keteladanan dan contoh – contoh real yang baik untuk ditiru karena mereka masih sangat kesulitan menemukan jati diri yang sesuai bagi mereka untuk menjalani kehidupan ini.

Beberapa hal yang bisa kita petik dari cerita di atas ialah, sekecil atau sebesar apapun kebohongan yang Anda buat akan terungkap seiring berjalannya waktu. Ketika Anda memulai dengan sebuah kebohongan, Anda tak akan pernah bisa berhenti karena Anda membutuhkan kebohongan – kebohongan lain untuk menutupi kebohongan Anda. Dan hal yang tak kalah penting lainnya adalah, jujur merupakan pilihan terbaik dalam kehidupan karena kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia.

Sumber cerita: “Maaf, Bhante Sekedar Numpang Lewat; Belajar Menjadi Bijaksana” karangan Biku Vijaya Putta.