Senin, 06 Juni 2011

Kisah Giok Hong Siang Tee

Kisah Giok Hong Siang Tee di bawah ini:
Dari buku Kisah Para Suci terbitan Yayasan Bakti, Penyusun : Christian Arianto Partono,, Marga Singgih, N. Shinta Aprilia, SH, Silvianita Timotus, M.Si




Pada zaman dahulu kala di darantan Tiongkok ada sebuah negeri bernama Kuang Yuan Miao Lo (Negeri yang bercahaya Terang Benderang dan Elok penuh Suka-cita). Rakyat kerajaan itu semuanya hidup bahagia. Apa saja yang di kehendaki oleh rakyat negeri itu pasti akan terkabul. Kemudian rakyat negeri itu mengira, jika rakyat bisa hidup bahagia, apalagi seorang Raja, maksudnya yaitu Raja mereka. Mereka berpendapat Raja dan Permaisuri pun akan hidup bahagia seperti mereka. Ternyata dugaan mereka itu sangat keliru sekali.

Raja Tsing Teh (Ceng Tee atau Raja Dermawan Suci-nuirni) maupun Permaisuri Pao Yueh Goat Kuang (Sinar KiMiibulan Yang Indah), pada saat itu justru sedang bersusah hati dan berduka cita. Kesusahan dan kedukaan mereka itu ternyata mereka tidak mendapatkan keturunan yang bisa melanjutkan kerajaan mereka sebagai penyambung keturunannya.

Pada masa itu keturunan atau anak lelaki bagi mereka adalah mutlak mereka dambakan, karena untuk menyambung dan melanjutkan tahta kerajaannya kelak, yaitu sesudah mereka meninggal dunia. Ketika itu usia raja dan permaisuri sudah sangat lanjut. Tentu saja mereka berdua jadi amat kuatir, dan sangat berduka karena tidak punya penerus yang akan melanjutkan menjadi raja menggantikan mereka di kemudian hari.

Pada suatu hari.....
Raja Dermawan Suci-murni ini memerintahkan menterinya untuk mengundang pendeta Taois. Mereka diminta

untuk membantu bersembahyang di kelenteng-kelenteng dan membacakan doa-doa agar Raja bisa memperoleh keturunan yang di kemudian hari sang putera ini akan duduk di singgasana sebagai penggantinya.

Siang dan malam Raja Dermawan Suci-murni dan permaisurinya terus berdoa kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Mereka memohon diberi seorang putera sebagai ahli waris mereka. Namun, sesudah bertahun-tahun lamanya mereka berdoa dan berharap-harap dengan penuh harap dan cemas, ternyata permaisuri belum juga hamil. Namun, mereka tidak bosan-bosan dan tidak putus harapan mereka terus memohon kepada Thian Yang Maha Kuasa.

Akhirnya pada suatu malam permaisuri bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Tai-siang Li Lo Kun yang sedang naik kereta naga emas. Ketika itu Beliau sedang menggendong anak kecil yang bercahaya. Kemudian permaisuri memohon kepada Tay Siang Li Lo Kun agar bayi itu diserahkan kepadanya.

"Baginda sudah berusia sangat lanjut, tapi tidak mempunyai turunan, hamba mohon anak itu diserahkan saja kepada kami," kata permaisuri.

"Baiklah," kata Tai-siang Li Lo Kun alias Lao Tzu.

Benar saja tidak berapa lama permaisuri pun hamil. Selang sembilan bulan kemudian lahirlah seorang anak lelaki yang manis dan sehat. Ternyata harapan dan cita-cita raja dan permaisuri pun sudah terkabul. Bukan main gembiranya raja dan permaisuri atas karunia ini. Mereka sangat bersyukur.

Di istana mereka sekarang seolah telah muncul cahaya harapan. Anak itu kemudian diasuh dan dibesarkan oleh para pengasuhnya dan diperlakukan dengan kasih sayang.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun sudah berganti dengan tahun. Begitu pun tahun sudah berganti dengan tahun yang baru dan begitulah hari

demi hari berjalan dengan cepat, sehingga sang anak itu pun akhirnya sudah menjadi dewasa. Anak itu ternyata pandai dan bijaksana. Kemudian raja mengangkat puteranya itu menjadi bendahara negara.
Karena sudah menjadi sifat putera raja ini sejak baru dilahirkan, anak raja ini berbudi halus dan sangat bijaksana, juga dia sangat murah hati; dia tidak segan-segan membantu orang-orang yang miskin dan orang yang dilanda kesusahan. Sering dia sengaja membuka gudang bahan makanan milik negara. Isinya dia kuras dan dia bagi-bagikan di antara orang-orang yang membutuhkannya. Sejak saat itu tidak ada lagi janda atau duda dan juga anak yatim piatu yang mengeluh kekurangan pakaian atau makanan mereka.

Ketika ayah sang putera mahkota ini akan mengangkat sang anak untuk menggantikan kedudukannya menjadi raja, lain diadakanlah upacara pengangkatan secara resmi. Maka naik tahtalah putera mahkota ini menggantikan ayahnya.
Selama menjadi raja dia telah melihat dan memperhatikan kehidupan rakyat secara langsung. Dia saksikan yang rakyatnya terkadang dilanda duka nestapa yang luar biasa. Terkadang pula mereka sehat tapi tiba-tiba mereka jatuh sakit, bahkan nyawa mereka direnggut maut hingga meninggal dunia.

Melihat suka-duka kehidupan manusia itu sang raja yang baru dan bijaksana ini menjadi sangat kecewa dan herduka bukan main. Terutama dia sangat prihatin pada penyakit dan maut yang sering merenggut kebahagiaan manusia atau rakyatnya. Hingga rakyatnya pun tidak bisa hidup bahagia selama-lamanya. Sekarang raja ini sering tampak murung melamun saja dan berduka sekali.

Pada suatu hari raja yang bijaksana ini berpikir, "Aku harus mencari sebab-sebab dari penyakit yang sering menyerang manusia ini, sehingga sering membuat mereka harus meninggal dan berduka cita."

Oleh karena itu sang raja yang bijaksana ini berniat akan bertapa dan menyelidiki masalah penyakit dan kematian atas diri manusia itu. Sang raja bijaksana ini ingin melepaskan semua manusia dari berbagai bencana dan duka serta penderitaannya yang dideritanya sepanjang hidupnya.

Maka pergilah sang raja bijaksana ini meninggalkan istananya yang agung dan permai itu. Dia menuju ke Siu Yen (Can San yang permai di negeri P'u Ming (Negeri yang selalu Bercahaya), yang ada di bagian selatan. Di sinilah sang raja bijaksana itu bertapa sampai akhirnya dia menemukan pengetahuan tentang kesukaran yang dialami umat manusia pada umumnya pada masa itu.

Kemudian sang raja yang bijaksana ini kembali ke negerinya dengan membawa bekal pengetahuannya yang maha penting itu untuk oleh-oleh bagi rakyatnya yang dia cintai. Di tengah-tengah masyarakatnya raja bijaksana ini mengajarkan pelajaran Kekal Sejati dan mengobari orang yang sakit, menolong orang yang ditimpa musibah dan kesusahan. Menghibur orang-orang yang berduka-cita dan seterusnya.

Pada suatu hari, maut yang sudah menjadi warisan umat manusia ternyata tidak bisa dihindarkan, maka mangkatlah sang raja yang bijaksana ini dan hidup abadi di Langit. Pada saat sang raja bijaksana meninggal dunia, seluruh rakyat negerinya berkabung dan ikut berdukacita. Bunga-bunga dan berbagai tanaman menjadi layu, bahkan daun-daunnya berguguran ke tanah dan berserakan. Bumi pun basah dan dingin, awan seolah-olah ikut bermuram durja, berwarna kelam berkabut. Bintang-bintang di langit seolah gelisah bersembunyi di balik gunung-gunung yang tinggi.

Sang raja yang bijaksana itu sudah menjadi roh dan beliaui memandang kebumi, ketika itu beliau sangat terharu mrnyaksikan keadaan yang demikian menyedihkan itu. bahkan dia merasa berkewajiban untuk melepaskan penderitaan umat manusia itu dan beliau ingin turun kembali ke muka bumi.

Karena sudah tak tertahan lagi menyaksikan penderitaan rakyatnya lalu beliau turun ke bumi setiap 800 tahun sekali. Selang 800 tahun kemudian, kembali sang raja yang bijaksana itu pun turun ke bumi. Beliau menata kembali tanam-tanaman yang telah layu, hujan diturunkan agar bisa membasahi bumi, sehingga tanaman dan bunga-bunga bisa tumbuh subur dan berkembang memeriahkan muka bumi yang tadinya gersang dan sunyi menjadi ceria kembali.

Di sana sini satwa dan unggas berterbangan dengan riang gembira. Suara cicit burung menyemarakkan hutan rimba yang semula sunyi bagai kuburan itu. Rakyat bersorak gembira menyambut tahun yang baru dengan kesemarakkan musim semi dan bunga yang indah itu. Mereka pun pada hari itu berpakaian baru dan indah-indah, lalu jika mereka bertemu dengan orang tua, sanak-famili, maupun para tetangga, dan handai-taulannya, mereka segera mengucapkan: "Selamat Tahun Baru".

Sang raja yang bijaksana ini girang sekali karena beliau mampu mendatangkan kebahagian bagi umat manusia dimuka bumi ini. Namun, karena beliau sekarang bukan penduduk bumi lagi, maka sang raja yang bijaksana ini pun kembali ke langit. Tapi sang raja bijaksana ini berjanji pada umat manusia, di awal tahun dia akan datang ke bumi untuk Membahagiakan umat manusia.
Selang ribuan tahun kemudian, manusia yang dibahagiakan oleh sang raja yang bijaksana itu sudah makna kebahagiaan yang diberikan oleh raja yang
bijaksana itu. Di mana-mana mulai timbul berbagai kejahatan yang dilakukan oleh umat manusia.

Ketika sang raja yang bijaksana untuk turun lagi terakhir kalinya ke muka bumi, beliau malah ditangkap oleh manusia. Kemudian beliau disiksa dan dianiaya. Dengan kuasanya beliau beliau bisa bebas dan sejak saat itu beliau tidak mau lagi kembali ke muka bumi. Ketika rakyat mulai menyadari bahwa yang mereka siksa itu adalah raja kebijaksanaan yang telah menganugerahi kebahagiaan kepada mereka maka mereka pun jadi kaget. Tapi semua itu sudah terlambat. Kemudian rakyat menamakan raja yang bijaksana itu dengan sebutan "Giok Hong Siang Tee".
Orang Tionghoa menganggap bahwa "Giok Hiong Siang Tee" adalah " Yang Tertingggi Dari Segala Yang Paling Tinggi" yang ada di muka bumi ini. Kekuasaannya sangat tidak terbatas.

Di Indonesia orang-orang Tionghoa memperingati hari lahir "Giok Hong Siang Tee" dengan sangat hikmat, yaitu pada setiap tanggal 9 bulan satu Im-lek atau delapan hari sesudah Perayaan Tahun Baru Im-lek hari kelahiran itu dirayakan dengan bersembahyang.

Berhari-hari sebelum mulai melaksanakan sembahyang pada "Giok Hong Siang Tee", orang-orang Tionghoa ini membersihkan diri, Mereka tidak boleh memiliki pikiran yang tidak senonoh, dilarang bicara yang tidak pantas dan harus bersih tubuh dan hatinya atau terkadang orang itu cia-cay (mutih).
Sehari menjelang akan dirayakannya Sembahyang Tuhan orang-orang Tionghoa membersihkan rumah mereka, termasuk semua alat rumah tangganya.
Malam harinya pada tanggal 8 bulan satu Im-lek, mereka menyediakan sebuah meja sesaji untuk menghormati "Giok Hong Siang Tee" yang mereka puja itu.

Sajian yang umumnya disajikan di meja sembahyang itu biasanya manisan, misalnya manisan ceremeai, manisan kolang-kaling, buah-buahan, sepasang lilin, dan di kiri-kanan meja sembahyang biasanya diikatkan sepasang pohon tebu. Mengenai pohon tebu ini pun ada kisahnya. Tidak lupa juga bunga-bunga yang harum baunya sebagai lambang Musim bunga. Dupa wangi kayu gaharu dibakar untuk mengharumkan ruangan.

Pada tengah malam semua orang bersembahyang di depan meja sembahyang untuk mengucapkan terima kasih kepada Giok Hong Siang Tee (Thian). Orang Tionghoa menamakan sembahyang ini sebagai "Sembahyang kepada Tuhan.
Sebenarnya sembahyang pada "Giok Hong Siang Tee" ini dilakukan pada hari kesembilan, atau tepatnya pada tanggal 9 bulan satu tahun atau penanggalan Im-lek. Namun dalam buku ini untuk menghormati Thian (Tuhan) mengenai hal ini dikedepankan sebagai bagian yang harus mendapat tempat terhormat. Falsafah tentang Kaisar Tsing The (Cen Tee) ini bisa kita hubungkan dengan Sang Matahari yang mampu membahagiakan umat manusia. Sedangkan Permaisuri Pao Kuang sebagai Sang Rembulan.

PEH CUN / DUAN WU 端午

Adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan ( 扒船, mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga bukan lagi praktek umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini.
Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou. Perayaan festival ini yang biasa kita ketahui adalah makan bakcang (肉粽, rouzong) dan perlombaan dayung perahu naga.

Asal Usul
Dari catatan sejarah dan cerita turun temurun dalam masyarakat Cina, asal usul festival ini dapat dirangkum menjadi 2 kisah:

Peringatan atas Qu Yuan
Umumnya orang Tionghoa menganggap bahwa Hari Peh Cun adalah satu festival yang diadakan untuk memperingati Qu Yuan, seorang pujangga Tiongkok yang patriotik. Qu Yuan pernah menjadi pejabat tinggi Negara Chu pada Zaman Negara-negara Berperang dari tahun 475 sampai 221 Sebelum Masehi. Pada zaman itu, Tiongkok terpecah belah menjadi 7 negara yang saling berperang. Berangsur-angsur, Negara Qin di bagian barat laut Tiongkok, kira-kira di Propinsi Shaanxi sekarang semakin kuat dan mengancam keamanan ke-6 negara yang lain. Qu Yuan yang patriotik mengusulkan kepada Raja Negara Chu, yang kira-kira terletak di Propinsi Hunan Tiongkok Selatan sekarang, agar bersekutu dengan Negara Qi dan bersama-sama melawan Negara Qin, namun gara-gara adu domba beberapa pejabat lain yang memihak Negara Qin, Qu Yuan dipecat dari jabatannya oleh Raja Negara Chu dan hidup dalam pembuangan. Pada tahun 278 Sebelum Masehi, Negara Chu ditaklukkan oleh Negara Qin. Pada tanggal 5 bulan ke-5 Imlek tahun itu, Qu Yuan bunuh diri dengan menceburkan diri ke Sungai Mi Luo. Konon setelah Qu Yuan bunuh diri, penduduk setempat berdatangan ke sungai itu untuk mencari jenazahnya seraya membuang bacang ke sungai itu agar ikan di sungai itu tidak menggerogoti jenazahnya. Lama-kelamaan kegiatan itu menjadi suatu tradisi dan setiap tanggal 5 bulan ke-5 Imlek penduduk setempat pasti mengadakan lomba dayung untuk memperingati Qu Yuan. Kegiatan ini sekarang juga diikuti oleh para peserta dari negara-negara lain. Pada hari Pehcun pasti disajikan bacang.

Tradisi Suku Kuno Yue di Cina Selatan
Perayaan sejenis Peh Cun ini juga telah dirayakan oleh suku Yue di selatan Cina pada zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han. Perayaan yang mereka lakukan adalah satu bentuk peringatan dan penghormatan kepada nenek moyang mereka. Kemudian setelah terasimilasi secara budaya dengan suku Han yang mayoritas, perayaan ini kemudian berubah dan berkembang menjadi perayaan Peh Cun yang sekarang kita kenal.

Peringatan atas Wu Zi-xu
Ini adalah versi lain yang juga populer di pesisir timur Tiongkok. Wu Zi-Xu adalah orang negara Chu pada zaman Musim Semi dan Gugur (Chun Qiu Shi Dai, 770 SM ~ 476 SM), namun karena keluarganya dibunuh oleh Raja Chu menyebabkan ia pergi membantu negara Wu menyerang negara Chu. Kerajaan Wu menang perang berkat jasanya. Sayangnya, setelah Raja Wu He Lu meninggal dan digantikan anaknya, anaknya tidaklah begitu menghormati Wu Zi-Xu. Wu Zi-Xu yang menasehatkan raja baru untuk menyerang negara Yue tidak digubris dan malah ia difitnah oleh menteri negara Wu yang bersekongkol dengan negara Yue mengharuskan ia dihukum mati. Setelah meninggal, jenazahnya kemudian dibuang oleh menteri ke dalam sungai. Sehingga, orang-orang kemudian merayakan hari raya Duan Wu untuk memperingatinya.

Kegiatan dan Tradisi
Lomba Perahu Naga : Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak zaman negara-negara berperang. Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan diselenggarakan setiap tahunnya baik di Cina Daratan, Hong Kong, Taiwan maupun di Amerika Serikat. Bahkan ada perlombaan berskala internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari manca negara, kebanyakan berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara. Perahu naga ini biasanya didayung secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.
Makan Bakcang : Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Peh Cun sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bakcang telah populer di Cina, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi. Di Taiwan, di zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bakcang yang dibawa oleh pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isi bakcang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada yang isinya sayur-sayuran, ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama serikaya, gula manis.
Menggantungkan Rumput Ai dan Changpu : Peh Cun yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan pembersihan, lalu menggantungkan rumput Ai (艾草) dan changpu (菖埔) di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.
Mandi Tengah Hari : Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, Hakka), Guangdong (Teochiu, Kengchiu, Hakka) dan Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari festival Peh Cun ini, dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila dengan mandi ataupun diminum setelah dimasak