Jumat, 20 Mei 2011

Swimologi




Pada suatu hari ada seorang profesor yang sangat tinggi pendidikannya dan gelarnya juga banyak sekali. Profesor ini masih muda dan belum dewasa dalam menghadapi masalah kehidupan, dia hanya sangat tinggi dalam pendidikannya saja.

Pada suatu ketika, profesor ini berlayar dengan sebuah kapal yang cukup besar; dan di dalam kapal tersebut, juga ada seorang pelaut yang sudah tua serta kurang berpendidikan. Dia menjadi pelaut hanya dari pengalaman hidupnya saja.

Pada suatu hari profesor pergi ke kabin pelaut tua, akhirnya mereka berbincang-bincang, di akhir perbincangan profesor itu bertanya kepada pelaut tua: ”Hai pak pelaut tua, apakah bapak pernah belajar ‘geologi’?” “Apa itu tuan profesor?” “Itu lho, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bumi”. “Oh, tidak tuan profesor, saya tidak pernah belajar di sekolah maupun di perguruan tinggi. Saya tidak pernah belajar apa-apa”. “Wah, pak tua, kalau begitu, berarti bapak sudah kehilangan seperempat dari seluruh kehidupan bapak karena ternyata bapak, sebagai pelaut, tidak tahu tentang ilmu bumi”.

Mendengar hal ini, pelaut tua itu menjadi sangat sedih. Karena, kalau yang bilang demikian itu adalah seorang profesor, berarti hal itu memang benar. Oleh sebab itu, dia menjadi sangat sedih karena merasa telah kehilangan seperempat dari hidupnya. Artinya, seperempat bagian dari kehidupannya telah sia-sia karena tidak punya pengetahuan tentang geologi tadi.

Hari berikutnya, profesor pergi ke kabin pelaut tua itu lagi, di akhir perbincangan profesor itu bertanya: ”Pak tua, pak tua, apakah bapak pernah belajar ‘oceanologi’? Pernah tidak?” “Apa sih itu, tuan profesor?” “Itu lho, ilmu yang mempelajari soal laut, soal samudera”. “Wah, tidak pernah tuan, kan saya sudah bilang, bahwa saya tidak pernah belajar apa-apa”. “Wah, pak tua, kalau begitu, berarti sekarang bapak telah kehilangan setengah dari kehidupan bapak; karena, sebagai pelaut, bapak tidak tahu tentang ilmu samudera”. Pelaut tua itu sekarang tambah sedih lagi karena dikatakan demikian oleh sang profesor.

Pada hari berikutnya lagi, profesor pergi ke kabin pelaut tua itu lagi, di akhir perbincangan profesor itu bertanya: ”Pak tua, pak tua, apakah bapak pernah belajar ‘metereologi’?” “Apa lagi sih itu, tuan profesor, saya tidak tahu”. “Itu lho, ilmu yang mempelajari tentang cuaca, hujan, angin, dan sebagainya”. “Wah, tidak pernah tuan profesor, saya benar-benar tidak pernah belajar apa-apa”. “Nah, pak tua, kalau begitu, berarti sekarang bapak telah kehilangan tiga perempat dari seluruh kehidupan bapak”.

Pelaut tua itu sekarang benar-benar menjadi sangat sedih sekali karena profesor tadi telah mengatakan demikian. Artinya, dia merasa telah kehilangan tiga perempat dari seluruh kehidupannya.

Keesokan harinya giliran pelaut tua yang datang ke tempat profesor muda tersebut sambil berteriak-berteriak: ”Tuan profesor, tuan profesor, tuan profesor....apakah anda pernah belajar ‘swimologi’? Cepat katakan tuan, apakah anda pernah belajar ‘swimologi’?” “Belum pak tua, belum pernah. Apa itu ‘swimologi’?” “Ilmu berenang tuan, apakah tuan profesor bisa berenang?” “Wah, saya tidak bisa berenang, pak tua. Kenapa?” “Wah, tuan profesor, kalau begitu berarti tuan telah kehilangan seluruh kehidupan tuan, bukan hanya tiga perempat. Sebab, baru saja kapal ini menabrak karang, dan sekarang sedang akan tenggelam. Jadi, siapa saja yang bisa berenang, dia bisa mencapai pantai; kalau tidak bisa, ya tenggelam. Maka, maafkan saya tuan profesor, karena tidak bisa menolong tuan”.

Mungkin kita semua telah mempelajari semua ‘logi’ di dunia ini, tetapi jika kita tidak pernah belajar ‘swimologi’ kehidupan, apa gunanya semua ‘logi-logi’ itu?

Walaupun kita telah belajar ‘swimologi’ dengan membaca buku, mendengarkan pengarahan-pengarahan, namun jika kita tak mau menyentuh air, bagaimana ‘swimologi’ itu dapat membantu?

Tidak ada gunanya teori, teori, teori tanpa praktik! tapi jika praktik, praktik, praktik tanpa teori akan sangat berbahaya.

Cobalah belajar berenang di samudra penderitaan ini dan pergi ke pantai seberang yang bebas dari segala penderitaan.

(salah satu kutipan/editan Ceramah 10 Hari Kursus Meditasi Vipassana – SN. Goenka)

Kamis, 19 Mei 2011

B O S A N . . .




Tamu : "Sebenarnya apa itu perasaan 'bosan', pak tua?"

Pak Tua : "Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan, mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu."

Tamu : "Kenapa kita merasa bosan?"

Pak Tua : "Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki."

Tamu : "Bagaimana menghilangkan kebosanan?"

Pak Tua : "Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan terbebas darinya."

Tamu : "Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?"

Pak Tua : "Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?"

Tamu : "Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, Pak Tua."

Pak Tua : "Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang."

Tamu : "Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas?"

Pak Tua : "Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan seterusnya."

Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.

Tamu : "Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga?"

Pak Tua : "Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan."

Tamu : "Contohnya? "

Pak Tua : "Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu."

Lalu Tamu itu pun pergi.

Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.

Tamu : "Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaibanpun terjadi. Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal yang dulu pernah saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua?"

Sambil tersenyum Pak Tua berkata: "Karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan. Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil agar pikiranmu menjadi ceria. Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal dari pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kau bosan. Berpikir ceria menjadikan kamu ceria."

sumber: Catatan Herman Khantipalo

Ingat Peraturan Nomor 5

Suatu hari Sang Guru sedang rapat dengan seorang rekan bisnisnya. Di tengah-tengah rapat, tiba-tiba seorang anak buah Sang Guru masuk ke ruang rapat sambil tersengal-sengal dan dengan kalut dia melaporkan sesuatu kepada Sang Guru.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Sepenanak nasi kemudian, seorang anak buah lainnya dari Sang Guru menginterupsi rapat dan dengan resah mengeluhkan suatu masalah yang tampaknya membuatnya berbeban berat.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Sejenak berlalu, lagi-lagi seorang anak buah yang lain dari Sang Guru menerobos ke ruang rapat dan dengan penuh kekesalan menyampaikan uneg-unegnya kepada Sang Guru.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Menyaksikan peristiwa itu, rekan bisnis Sang Guru tidak tahan lagi untuk mengungkapkan rasa penasarannya. Ia bertanya: "Apa sih peraturan nomor 5 itu?"

Sang Guru menjawab: "JANGAN SERIUS-SERIUS AMAT LAH."

"Ooo, itu peraturan yang bagus," ujar rekan bisnisnya seraya mengangguk-angguk, "lalu, apa bunyi peraturan-peraturan lainnya?"

"Nggak ada sih, itu aja!" sahut Sang Guru sambil tersenyum lebar.

Cerita di atas mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai kelapangan hati. Dalam keseharian hidup, kita senantiasa berkecimpung dengan hal-hal yang membuat kita cemas dan kesal. Andaikata kita bisa meletakkan setiap permasalahan kita dalam perspektif yang benar-benar esensial dan bernilai, kita akan bisa berpikir dengan lebih jernih.

Sebuah studi menunjukkan bahwa "penyebab kecemasan" orang-orang adalah:
Hal-hal yang tak pernah terjadi: 40%
Hal-hal yang silam dan tak bisa diubah: 30%
Perasaan takut sakit: 12%
Hal-hal sepele atau kurang beralasan: 10%
Masalah yang nyata/betulan: 8%
Jadi, survei membuktikan: 92% adalah kecemasan semu nan sia-sia!

Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan spiritual kita, kita akan semakin menyadari kenyataan bahwa sehebat apa pun, kita dan segala atribut kita bukanlah pusat dari alam semesta. Dengan pemahaman ini, tatkala kita menghadapi kecemasan atau kekesalan, kita bisa mengingatkan diri bahwa apa yang terjadi pada kita bukanlah hal yang bersifat "personal".

Alam dan kehidupan berjalan secara tidak memihak. Semakin kita mampu menyelaraskan diri dengan jalannya kehidupan, akan semakin damai dan bahagialah kita. Kalau kita senantiasa ingat "peraturan nomor 5", kita akan lebih mudah untuk terus bangkit dan melenggang dalam segala terpaan hidup.

Be happy.
\(^0^)/

Kisah Si Tukang Kayu

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan kontruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut kepada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada si tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri karirnya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahan itu datang melihat rumah yang dimintainya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu" katanya "hadiah dari kami".

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesal. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi dalam kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan, kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadari sejak semula, kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkanlah rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup.

Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.

Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat dari sikap dan pilihan yang kita perbuat di hari ini.

Kisah Jiu Tian Xuan Nii .

Jiu Tian Xuan Nii ( Kiu Thian Hian Li ) secara umum sering disebut sebagai Xuan Ni Niang Niang ( Hian Li Nio Nio ) adalah seorang Dewi yang sangat tinggi kedudukannyadalam mithologi Tionghoa. siapa sesungguhnya Dewi ini ?

Dalam legenda disebutkan sesungguhnya Jiu Tian Xuan Nu adalah Nii Wa, seorang Dewi yang dalam dongeng purba diceritakan telah menciptakan manusia dari tanah liat dan mengatur perkawinan antar mahkluk itu dengan satu sistem . kisah Nii Wa yang paling terkenal adalah " Nii Wa menambal langit ". dikisahkan bahwa suatu ketika salah satu tiang yang menopang langit patah akibat pertempuran antara Gong Gong si Dewa Air dan Zhu Rong si Dewa Api. patahnya tiang langit ini menyebabkan banjir besar di Shenzhou ( sebutan bagi Tiongkok purba ) dan kebakaran hutan di beberapa bagian negeri itu. binatang buas lari lintang pukang menerjang pemukiman manusia. malapetaka ini menyebabkan Nii Wa sedih sekali. Ia melebur beberapa macam batu yang berwarna lima, menambal langit yang bocor dan tiang yang patah itu, mengganjal tepi angkasa yang miring dengan kaki kura-kura raksasa, memadamkan api dan mengeringkan banjir. kembali manusia dapat hidup tentram dan damai berkat jerih payah Nii Wa . karena kisah inilah, Nii Wa diangkat sebagai Dewi pelindung usaha peleburan emas dan perak. perusahaan pembuatan payung, pemintalan kapas dan pembuatan minyak wangi. Dia menciptakan sebuah alat musik tiup, Sheng Huang, semacam serunai untuk menaklukan para roh-roh jahat, sebab itu Jiu Tian xuan Nii juga dianggap sebagai Dewi pelindung perusahaan pembuatan alat musik.

Hari lahirnya di peringati pada tanggal 15 bulan 9 Imlek. gabungan pembuatan payung mendirikan kelenteng pemujaan Jiu Tian Xuan Nii yang sekarang terletak dibekas tempat perhimpunan orang2 Tong An, di Taiwan .

Sumber : buku " Dewa - Dewi Kelenteng " di cetak oleh Yayasan Kelenteng Sampookong , Gedung Batu - Semarang .